Mengenal Tradisi Ngayau Dalam Budaya Suku Dayak
Faktor apa yang menyebabkan praktik pengayauan antar Suku Dayak ini terjadi?
Pertempuran atau Ngayau antar sesama Dayak sebenarnya bukan semata-mata untuk mencari kepala musuh sebagai bukti kekuatan dan kebanggaan, seperti yang sering dipahami oleh banyak orang. Alasan ini terlalu sederhana! Lebih dari itu, pertempuran tersebut juga dipicu oleh nafsu balas dendam dan sebagai cara untuk mempertahankan diri: menyerang lebih dulu sebelum diserang. Hal ini mirip dengan pepatah Latin “si vis pacem, para bellum” (jika ingin perdamaian, bersiaplah untuk perang).
Masuknya agama Katolik di tengah-tengah Suku Dayak, terutama dengan kedatangan misionaris Katolik ke pulau Kalimantan pada akhir abad ke-18, membawa pengaruh yang baik. Ajaran Katolik tentang tidak membalas dendam dengan prinsip “mata ganti mata, gigi ganti gigi” mulai meresap dalam kehidupan orang Dayak.
Ajaran Kristen yang menekankan cinta kasih ini membuat masyarakat Dayak menjadi sadar untuk menghentikan tradisi mengayau. Musyawarah besar ini dihadiri oleh para kepala adat dari seluruh Kalimantan yang berkumpul dan sepakat untuk menghentikan praktik pengayauan antar sesama Dayak. Namun, pertemuan yang menghasilkan kesepakatan Tumbang Anoi tersebut didorong oleh pemerintah Hindia Belanda.
Ngayau berasal dari kata “kayau” yang berarti “musuh”. Menurut J.U. Lontaan, dalam bukunya, kata “headhunting” berasal dari peperangan antar desa dan suku.
Terdapat berbagai versi etimologi untuk Ngayau. Misalnya, Fridolin Ukur dalam bukunya Tantang Jawab Suku Daya menyebutkan bahwa Ngayau berarti mencari kepala musuh. Sementara itu, bagi Suku Dayak Lamandau dan Delang di Kalimantan Tengah, Ngayau berasal dari kata “kayo” yang berarti mencari. Ngayau berarti mencari kepala musuh. Jadi, Ngayau adalah tindakan dan budaya dalam mencari kepala musuh.
Suku Dayak Jangkang juga menyebut Ngayau sebagai “ngayo”. Kata ini berasal dari “yao” yang berarti bayangan, menghantui, menghilangkan, atau memburu kepala musuh.
Ngayau: Tradisi Berperang dan Makna Kepada Suku Dayak
Ngayau adalah sebuah tradisi yang merupakan bagian dari budaya Suku Dayak, yang mendiami pulau Kalimantan, baik di Kalimantan Barat maupun di wilayah lainnya. Dalam tradisi Ngayau yang sebenarnya, Ngayau tidak lepas dari praktik memenggal kepala musuh.
Ngayau memiliki makna sebagai perang untuk mempertahankan status kekuasaan, seperti mempertahankan atau memperluas wilayah kekuasaan, yang ditunjukkan dengan banyaknya kepala musuh yang berhasil diperoleh. Semakin banyak kepala musuh yang diambil, semakin kuat dan kaya seseorang akan menjadi.
Ngayau juga merupakan simbol kekuasaan dan status sosial bagi orang Dayak. Selain itu, dalam konteks pernikahan, Ngayau dahulu dianggap sebagai bagian dari mas kawin bagi seorang pria jika calon istri meminta kepala sebagai syarat, seperti dalam legenda Ne’ Dara Itam dan Ria Sinir.
Namun, saat ini tradisi memburu kepala atau “Ngayau” tidak lagi diamalkan dan telah dilarang sejak masa penjajahan. Banyak yang berpendapat bahwa “pria Dayak yang berhasil mendapatkan kepala dalam ekspedisi Ngayau akan menjadi rebutan atau idaman para wanita” karena hal ini melambangkan keberanian dan memberikan keyakinan bahwa pria tersebut dapat melindungi keselamatan istri yang dikawininya.
Namun, kenyataannya tidak sepenuhnya benar dan masih menjadi perdebatan. Menurut cerita lisan masyarakat Dayak (Iban) di Rumah Panjang, selain orang Bujang (laki-laki lajang), ada juga individu yang sudah berkeluarga yang ikut dalam ekspedisi memburu kepala.
Oleh karena itu, lebih tepat jika dikatakan bahwa Ngayau dilakukan untuk mendapatkan penghormatan dari masyarakat. Dalam arti lain, Ngayau juga berperan dalam meningkatkan status sosial seseorang. Orang yang pernah mendapatkan kepala dalam Ngayau akan diberi gelar “Bujang Berani” dan dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat magis atau memiliki kekuatan supranatural. Ternyata, masyarakat Dayak, seperti Dayak Iban Tradisional, tidak melihat Ngayau sebagai sesuatu yang merugikan.
Berdasarkan cerita lisan masyarakat Iban, Ngayau selalu dikaitkan dengan hal-hal positif. Misalnya, Ngayau sebagai simbol keberanian, simbol maskulinitas, dan simbol martabat sosial.
Asal usul kata “Ngayau” umumnya diterima oleh suku Dayak. Namun, kapan Ngayau dimulai dan bagaimana sejarahnya masih menjadi perdebatan dan sering muncul dalam berbagai versi. Hal ini disebabkan karena belum ada studi dan catatan sejarah yang mendetail dan kronologis mengenai asal mula Ngayau. Hanya ada catatan mengenai kesepakatan bersama dari semua suku Dayak di Kalimantan yang mengakhiri praktik ini. Kesepakatan ini terjadi pada 22 Mei – 24 Juli 1894, ketika diadakan Musyawarah Besar Tumbang Anoi di Desa Huron Anoi, Kahayan Ulu, Kalimantan Tengah.
Benar bahwa sebelum perjanjian Tumbang Anoi, praktik memenggal kepala terjadi bahkan di antara suku Dayak sendiri. Praktik Ngayau antar sesama suku Dayak sulit dipungkiri dan memang terjadi. Sebagai contoh, suku Dayak Jangkang dan suku Dayak Ribunt dulunya berselisih meskipun tidak berjarak jauh tempat tinggal mereka.
Apa faktor-faktor yang menyebabkan pengayauan antar suku Dayak terjadi?
Pengayauan antar sesama suku Dayak sebenarnya bukan hanya tentang mencari kepala musuh sebagai tanda kekuatan dan kebanggaan seperti yang sering dipahami oleh banyak orang. Alasan ini terlalu sederhana! Lebih dari itu, pengayauan juga dipicu oleh nafsu balas dendam dan sebagai cara untuk mempertahankan diri: menyerang terlebih dahulu sebelum diserang. Hal ini mirip dengan pepatah Latin “si vis pacem, para bellum” (jika Anda menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang).
Masuknya agama Katolik di tengah-tengah suku Dayak, terutama dengan kedatangan misi Katolik ke pulau Borneo pada akhir abad ke-18, membawa pengaruh yang positif. Ajaran Katolik tentang tidak melakukan balas dendam dengan prinsip “mata ganti mata, gigi ganti gigi” mulai merasuk ke dalam kehidupan suku Dayak.
Ajaran Kristen yang radikal tentang tidak melakukan balas dendam dengan hukum “mata ganti mata, gigi ganti gigi” segera diterima oleh suku Dayak. Ajaran kasih ini menyadarkan masyarakat Dayak untuk segera menghentikan tradisi pengayauan. Musyawarah ini dihadiri oleh para kepala adat dari seluruh Kalimantan yang berkumpul dan sepakat untuk mengakhiri praktik pengayauan antar suku Dayak. Namun, pertemuan yang menghasilkan kesepakatan Tumbang Anoi ini sendiri diprakarsai oleh pemerintah Hindia Belanda.
Kata “Ngayau” berasal dari kata “kayau” yang berarti “musuh”. Menurut J.U. Lontaan, dalam bukunya, dia mengutip Alfred Russel Wallace dalam The Malay Archipelago, 1896: “headhunting is a custom originating in the petty wars of village with village and tribe with tribe” (memenggal kepala adalah tradisi yang berasal dari perang-perangan antara desa dengan desa dan suku dengan suku).