Peribahasa Jawa, Makna Simbolis Dari Tumbuh-Tumbuhan Nusantara

Dalam kebudayaan orang Jawa, nilai kearifan lokal tercermin dari bahasa yang dipergunakan. Misalnya penggunaan peribahasa Jawa, penyampaian pikiran dengan simbol, kode, perantara, kehati-hatian dan penghormatan pada mitra bicara dengan maksud tidak menyinggung perasaan. Peribahasa biasanya diucapkan dengan tujuan tidak hanya sebagai penyampai pesan informatif akan tetapi lebih kepada pengungkapan keseluruhan nilai-nilai keindahan.

Karena peribahasa memiliki nilai lebih, diantaranya terdapat unsur kiasan, berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat yang diucapkan berdasarkan pengalaman hidup manusia, dan sebagai pengamatan dari pengalaman hidup. Gambaran dari segala gambaran sikap, sifat, keadaan, norma, nilai, prinsip, dan aturan tingkah laku dalam kehidupan.

Dalam peribahasa Jawa tersirat berbagai makna meliputi watak, tingkah laku, dan keadaan masyarakat Jawa yang berusaha mengungkapkan berbagai hal. Contoh nasihat, kebenaran, lukisan kasus atau kejadian dalam masyarakat. Inilah yang disebut dengan sebuah sistem pemikiran yang berbeda dari budaya Jawa dan tidak dimiliki oleh suku lain.

Keyzer (Danandjaja 2002:30), mengklasifikasikan bahasa Jawa menjadi lima golongan peribahasa yaitu: peribahasa Jawa mengenai tanam-tanaman, manusia, kerabat, dan fungsi anggota tubuh. Kenyataannya dalam peribahasa Jawa juga ditemukan bahasa Jawa dengan menggunakan leksem benda langit dan benda di alam.

Peribahasa Jawa yang didalamnya menyebutkan nama atau bagian tumbuhan sebagai pembanding. Nama tumbuhan yang sering ditonjolkan adalah menggambarkan suatu situasi dan keadaan. Tentu penggunaan leksem tidak melepaskan masyarakat pencintanya pada keindahan penyampaian dan isinya.

Baca Juga:   Klitik kata depan dan awalan dan partikel

Dengan menganalisis kosa kata suatu bahasa maka lingkungan fisik, nilai kearifan lokal, dan sosial tempat penutur akan tergali. Sejauh mana keterkaitan bahasa dan cara pandang dunia penuturnya akan terlihat dari p makaian kosa kata. Bahasa yang dimaksud adalah bahasa lisan. Pada akhirnya nanti didapatkan suatu gambaran cara pandang suatu masyarakat etnis seperti halnya yang terekam dan diolah melalui leksikonnya. Leksem (tumbuh-tumbuhan ) sebagai salah satu konstituen peribahasa jawa.

Nama tumbuhan yang dalam leksem tumbuhan peribahasa Jawa. Contoh: nama-nama pohon yang terdapat dalam bahasa Jawa. Contoh: Wringin atau beringin, Pring atau bambu, cikal atau pohon kelapa yang masih kecil, dhadhap yaitu pohon besar yang punya banyak duri dan bunganya berwarna merah. Tebu atau tebu, pari disebut juga padi, kacang (kacang), cethetet atau disebut juga kecipir.

Daun-daunan, terdiri dari godhong, (daun), godhong daun jati, godhong waringin, godhong randu, godhong legen dan blarak atau daun kelapa, suruh (sirih) dan sebagainya.

Batang dan ranting yang terdiri dari debog atau batangv pohon pisang, kayu akting atau batang kayu kering, carang atau ranting kering. Bunga yang terdiri dari Tanjung diantaranya bunga teratai, melati atau melati, Kusuma (bunga), kembang (bunga), mlati atau melati dan cempaka.

Buah yang terdiri atas timun, gedhang pisang, cengkir( lelpakiring (kelapa tua), asem (dan beragam style lainnya).

Baca Juga:   Mengenal PUEBI Sebagai Pondasi Tulisan

Begitupun penggunaan nama nama pohon yang juga salah satu unsur yang ikut membentuk peribahasa Jawa.

Beberapa makna pohon-pohon dalam peribahasa Jawa:
A. Nggeret Pring saka pucuk, artinya menarik bambu dari ujung ke atas. Makna peribahasa di atas menggambarkan keadaan seorang pembicara yang akan mempersulit diri sendiri. Artinya suatu hal yang tidak memungkinkan untuk dilaksanakan. Dengan pengalaman hidup dapatlah digambarkan sesuatu yang mempersulit pekerjaannya sendiri.

B. Cikal Apupus Limar, tunas kelapa berujung daun yang indah mengandung keberuntungan yang besar sekali. Cikal melambangkan sesuatu atau orang yang biasa saja dan Limar menggambarkan mengenai keberuntungan yang besar.

C. Milih-milih tebu oleh boleng. Maksudnya mengandung pesan lara jangan terlalu banyak memilih. Karena pada akhirnya akan mendapatkan sesuatu yang jelek. Pada masa lalu tebu menjadi tanaman penting dalam industri gula dan juga menjadi konsumsi anak-anak karena airnya manis. Dengan karakteristik lunak dan cukup mudah dikupas. Peribahasa ini menggambarkan perilaku orang yang suka memilih atau terlalu pemilih dalam segala hal dan akhirnya mendapatkan sesuatu yang berkualitas buruk. Dan pesan yang dapat diambil dalam peribahasa ini adalah jangan terlalu banyak memilih karena tidak ada yang sempurna di dunia.

Analisis peribahasa Jawa yang didalamnya terdapat leksem jenis daun: “godhong jati aking”, peribahasa tersebut dapat diartikan sebagai orang yang begitu nista di masyarakat. Misalnya menjadi wanita malam, maka derajatnya dipandang rendah dan diibaratkan daun jati kering yang mudah hancur jika terinjak dan jika terkena air secara terus menerus. “Kaya jagad mung sagodhong kelor” maksudnya jangan pernah putus asa untuk memperoleh sesuatu seperti tujuannya. Karena dimana ada usaha di sanalah ada jalan. Dan lain sebagainya.

Baca Juga:   Manfaat Daun Kecubung Bagi Kesehatan

Keadaan geografis Indonesia ikut menentukan mata pencaharian rakyat sebagai petani, salah satunya di pulau Jawa. Keadaan yang sebenarnya menjadi perwakilan dari nilai-nilai simbolik peribahasa Jawa.

Semoga bermanfaat

Reviews

0 %

User Score

0 ratings
Rate This

Sharing