Berhati-hatilah dengan Jargon “Kembali kepada Alqur’an dan Sunnah
Berhati-hatilah dengan Jargon “Kembali kepada Alqur’an dan Sunnah” – Beberapa tahun terakhir, umat Islam di Indonesia santer didera oleh jargon ‘kembali kepada ‘Alqur’an dan Sunnah’. Seruan itu secara normatif tidaklah sepenuhnya salah, apalagi benar. Akan tetapi, menyeruaknya jargon tersebut tidak hanya aneh, namun juga sulit dipahami, kecuali yang dimaksud dengan ‘Alqur’an dan Sunnah’ dalam jargon itu tidak lain adalah ‘terjemah’ dari keduanya.
Mengapa dianggap aneh? Pasalnya, tanpa harus dijargonkan dan diteriak-teriakkan, sejak dulu kala umat Islam telah menyakini keberadaan Alqur’an dan Sunnah sebagai sumber rujukan utama, juga mempratikkan keduanya, baik dalam hal keagamaan, keilmuan maupun yang lainnya. Dengan begitu, meneriakkan jargon tersebut tidak hanya terlambat, namun juga sia-sia.
Berikutnya, seruan untuk kembali kepada Alqur’an dan Sunnah tersebut sulit diterima oleh akal sehat. Terlebih jika yang sebenarnya dimaksud adalah terjemah Alqur’an dan Sunnah. Pun jika benar yang dimaksud adalah terjemah, bukan Alqur’an dan Sunnah sendiri, maka sungguhlah memperihatinkan umat Islam yang berpemahaman semacam ini. Bagaimanapun, terjemah tidaklah sama dengan Al-qur’an dan Hadits, bahkan kadang tidak mewakili maksud keduanya.
Tentu dalam hal ini penulis tidak bermaksud menilai ataupun menyalahkan orang-orang yang belajar memahami Alqur’an dan Hadits melaui terjemahan, tidak sama sekali. Hanya saja perlu diperhatikan, bahwa Alqur’an dan Sunnah tidaklah cukup jika hanya dipahami melaui terjemah. Proses memahami keduanya perlu didukung dengan disiplin keilmuan lain, semisal tafsir, ilmu Alqur’an, ilmu Hadits dan sebaginya.
Mengapa tidak cukup memahami keduanya dengan terjemah dan harus didukung dengan keilmuan lain? Pertimbangannya adalah sebagai berikut.
Pertimbangan pertama mengacu pada redaksi Alqur’an dan Sunnah itu sendiri. Sebagaimana yang kita ketahui, Alqur’an maupun Sunnah (Hadits) menggunakan redaksi berbahasa Arab. Tentu bahasa manapun selalu memiliki kekhasan dan gaya yang berbeda dengan bahasa lain. Begitu juga bahasa Arab dengan bahasa lain semisal bahasa Indonesia. Karena itulah, dalam memahami keduanya juga perlukan penguasaan terhadap bahasa Arab, baik dari seluk-beluk bahasa, ilmu naḥwu, ilmu ṣaraf, balaghah dan seterusnya.
Kenapa penguasan terhadap semua itu penting? Alasannya adalah karena untuk menghindari kesalahan dalam memahami maksud dari Alqur’an dan Hadits itu sendiri. Pasalnya, Alqur’an dan Hadits tidak sekadar memiliki gaya bahasa, namun juga konteks yang khas. Karena itulah, keduanya tidak cukup hanya dipahami dengan terjemahan, lebih-lebih terjemah yang letterlek.
Contoh dari hal itu mungkin sangat banyak. Sebut saja di antaranya adalah penggunaan lafadz ‘Qa’ada’ (قَعَدَ) dan ‘Jalasa’ (جَلس). Kedua lafadz tersebut, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki makna yang sama, yakni duduk. [Kamus Al-Munawir, 202 dan 1137]. Namun, dalam Alqur’an dan Hadits keduanya digunakan dalam konteks yang berbeda. Qo’ada digunakan untuk menyebut arti duduk dari keadaan yang lebih tinggi, misalanya berdiri. Berbeda dengan itu, lafadz Jalasa digunakan untuk menunjukkan arti duduk dari keadaan yang lebi rendah, semisal tidur atau sujud.
Penggunaan Qa’ada dengan arti semacam itu dapat kita temukan dalam Alqur’an, misalnya firman Allah berikut:
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” [QS. Ali Imran: 191]
Sedangkan penggunaan lafadz Jalasa dapat kita temukan pada semisal hadits riwayat Wail bin Hujr tentang duduk iftirasy sebagaimana berikut:
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ جَلَسَ فِيْ الصَّلاَةِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ اْليُمْنَى
“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk dalam shalat, beliau duduk iftirosy dengan menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya.”[ HR. Ibnu Khuzaimah 1/343.]
Selain contoh di atas, tentu masih banyak kasus lain, di mana Alqur’an tidaklah cukup jika dipahami secara letterlek atau melalui terjemahan. Di antara banyak kasus tersebut adalah adanya lafadz musytarak (homonim), misalnya lafadz Qurū’ (قُرُوٓءٍ) yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 228:
وَٱلْمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٍ ۚ…..
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’…. [QS. Al-Baqarah:228].
Lafadz Qurū’ (قُرُوٓءٍ) secara harfiah memiliki dua arti, yakni haid (menstruasi) dan suci. Lantas, makna manakah yang dikehendaki dalam ayat di atas? Tentu untuk menjawab pertaanyaan ini tidaklah cukup menggunakan terjemah. Maksud ayat di atas baru bisa dipahami setelah diolah bersama dalil lain, berikut dengan berbagai disiplin keilmuan semisal tafsir dan ushul fikih. Setelah diadakan pengolahan itulah, baru bisa dipahami bahwa maksud dari lafadz Qurū’ (قُرُوٓءٍ) tersebut adalah suci sepertihalnya pendapat Imam Syafi’i, atau haid (menstruasi) seperti pendapat Imam Abu Hanifah.
Selain beberapa pertimbangan yang telah disebutkan, menarik kiranya jika kita menengok pendapat Imam As-Suyuthi dalam Al-Itqān fī ulūm al-Qur’ān. Menurutnya Alqur’an (maupun Hadits) tidaklah bisa dipahami secara mentah-mentah. Untuk memahami keduanya, dibutuhkan tafsir atau penjelasan. [Jalaluddin As-Suyuthi, 2008: 760].
Mengapa begitu? Terkait hal ini, Imam As-Suyuthi setidaknya telah mengemukankan tiga alasan sebagaimana berikut.
Pertama adalah karena keutamaan Alqur’an itu sendiri. Alqur’an sempurna dalam segi keilmiahannya, sehingga di balik lafadznya yang wajīz (ringkas-padat) terdapat makna yang begitu luas dan mendalam. Karena itulah untuk memunculkan maknanya yang dahsyat itu diperlukan penjabaran atau tafsir, agar mudah dipahami oleh umat manusia.
Kedua, adanya hal-hal yang bersifat komplementer atau prasyarat yang tidak disebutkan dalam Alqur’an. Tidak disebutkannya semua itu bukan berarti Alqur’an tidak sempurna, melainkan karena semua itu dianggap sudah dipahami oleh sasaran (objek) pewahyuan. Meski begitu, kadar pemahaman manusia tidaklah sama, oleh karena itu butuh penjelasan bagi orang tersebut dalam memahami Alqur’an.
Ketiga, adanya lafadz Alqur’an yang menyimpan kemungkinan beberapa pemaknaan . Misalnya lafadz tersebut berupa kata majaz (kiasan), musytarak (homonim) dan lain sebagainya. Karena itulah, dibutuhkan adanya suatu penjelasan.
Mengingat semua alasan di atas, setidaknya kita menjadi paham bahwa Alqur’an dan Sunnah tidak bisa dipahami secara mentah mentah. Mungkin kita bisa kembali pada keduanya, namun hal itu tidaklah cukup hanya dengan modal terjemah.
Oleh karena itu, kita patut berhati-hati terhadap jargon “kembali kepada Alqur’an dan Sunnah”. Jangan sampai semangat untuk berislam yang baik dan benar disalahartikan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Tampaknya saja memuliakan Al-Qur’an dan Sunnah, namun sebenarnya hanya ingin meraup dukungan massa atas agenda tertentu, atau tujuan buruk lainnya. Siapa tahu?
Wallāhu A’lam….